Untuk Seseorang di Masalalu
Langit cerah seakan menemaniku saat aku menulis ini. Tapi
sepertinya ada suatu hal yang mengganjal dalam hatiku. Seharusnya aku senang
bukan? Dia, sosok yang selalu aku
rindukan muncul menghiasi sepinya blog ini dari mata pengunjung. Tapi, entah
apa yang harus aku rasakan saat ini. Sedih kah? Atau mungkin aku harus senang?
Sial. Aku benar-benar tak tahu. Dia yang selalu aku rindu, dia yang selalu aku
tunggu, dia yang tak pernah absen dari doa tiap malamku, dia yang selalu aku
cinta, ternyata masih ingat padaku.
Sial. Aku jadi ingat beberapa tahun yang lalu; saat aku dan dia
masih menjadi kita. Pertemuan yang tak pernah aku duga sebelumnya. Ukiran
kenangan yang tak pernah aku sangka akan terjadi. Bahkan lagu itu. Lagu ketika
kita pertama kali bertemu, akan selalu jadi lagu terindah dalam hidupku.
“Inikah Cinta.” Ya. Lagu yang selalu membuatku merasa seperti seorang pemabuk, tak
pernah sekalipun aku tak tersenyum ketika mendengar lagu itu diputar.
Berlebihan bukan? Ya. itulah yang dinamakan cinta.
Semua terasa sangat indah kala itu. Tak pernah seharipun kita
lewati hari tanpa senyuman. Bahkan hujan yang sebelum itu sangat aku benci
karena dapat membuat istanaku dirusak olehnya, malah menjadi objek yang paling
aku sukai. Lagi-lagi karena cinta. Hujan selalu hadir ditengah-tengah aku dan
dia. Ia (baca:hujan) selalu hadir membuat segalanya menjadi lebih hidup, lebih
berwarna, lebih indah dari taman bermain. Ya, aku memang sangat menyukai taman
bermain. Tapi kala itu, hujan dapat mengalahkan segalanya. Aneh bukan? Tapi
memang itulah kenyataannya.
Akhirnya hujan pun menjatuhkan rambut mayangnya ke bumi dengan
bongkahan rintik-rintik kecil yang menjamu mata telanjang yang menyaksikannya.
Aku tersenyum lebar, aku akan segera menemukan dia, malaikat hujan. Ternyata
dugaanku tepat. Rintik hujan semakin membesar. Akhirnya sang malaikat hujan
berhasil mengerjakan tugasnya dengan
baik. Ia (baca:hujan) berhasil membuat dia menginjakkan kakinya pertama kali di
istana kecilku. Dengan pakaian yang basah kuyup, rambut lusuh, mata merah
seperti biasanya, dan bibir keunguan karena beku menahan dinginnya air hujan,
dia duduk di kursi yang telah ku sediakan. Secangkir teh hangat yang ibuku
persiapkan seakan menjamu kedatangannya. Kami duduk dalam satu meja, tanpa
ungkapan dan ucapan, karena bahkan hanya lewat tatapan ada “pembicaraan” bisu
yang “terdengar” oleh hati. 45 menit berlalu. Semangkuk bubur kacang hijau pun
seakan menjadi tumbal, untuk menahan kepergiannya. Namun seberapa banyaknya
bubur kacang hijaupun ternyata tak dapat menahan kepergiannya. Dia tetap harus
pergi meninggalkanku dan istana kecilku. Aku hanya bisa melihat tubuhnya dari
belakang, yang semakin menjauh dari pandanganku.
Setelah kuputar ulang lagi rekaman otakku yang berisi tentangmu,
aku mencoba kembali mengingat semua kenangan kita bersama hujan. Ternyata
benar. Tak salah aku sangat menyukai hujan saat ini. Hujan memang telah
berhasil mengukir kenangan indahku bersamanya dalam memori otakku yang hanya
tinggal secuil lagi, karena terisi penuh dengan materi mata pelajaran yang akan
kuhadapi dalam Ujian Nasional 20 hari mendatang.
Dan, untuk kamu, ya kamu! Pria yang saat ini masih menjadi 3
besar dalam hatiku. Jujur, aku merindukanmu. Merindukan sosok dewasa yang dulu
pernah menopang dan menegakkan langkahku. Aku merindukan suaramu yang dulu
menelusup lembut ke dalam telingaku. Aku merindukan sosok sederhanamu dengan
tahi lalat yang menghiasi lengan kirimu. Sekarang, aku tahu bagaimana rasanya
bila tidak ada kamu yang menghiasi hari-hariku. Sekarang, aku tahu rasanya jika
saat pagi tak ada sapamu di inbox handphoneku. Aku benar-benar kehilangan
sosokmu.
Ingin rasanya kembali ke masa lalu, ketika masih ada kamu,
ketika aku masih bisa bebas menikmati senyummu, ketika aku masih bisa tersenyum
saat bangun pagi hingga tidur malamku. Saat kamu masih menganggapku lebih dari
teman, saat ungkapan rindumu masih sering kudengar dari bibir tipismu, saat
kehadiranmu bagai actor utama drama yang kutunggu-tunggu kemunculannya. Aku
masih saja selalu memerhatikan nomor handphonemu, menimbang-nimbang apakah aku
harus mengirim pesan terlebih dahulu atau aku saja yang menunggumu? Ah. . .
tapi kamu terlalu sibuk, bahkan hanya untuk sekadar sms apalagi menanyakan
kabarku.
Kadang aku merasa menjadi wanita paling bodoh. Aku telah
melakukan suatu kesalahan fatal yang membuatku tak pernah berhenti merasa
menyesal. Kala itu aku memang sedang kesal. Amarah ku tak dapat ku bendung
lagi, kesabaranku sudah tak dapat kutahan lagi. Aku menyaksikan dia memboncengi
seorang gadis berjilbab. Memang wajar, gadis itu teman sekelasnya. Tapi apakah
wajar bila hal itu terus ia lakukan berulang-ulang? Bahkan sahabatku tak jarang
melihat hal itu, terutama rumah sahabatku tak jauh dari rumah gadis itu. Wajar
jika sahabatku lebih banyak mengetahui hal itu ketimbang aku. Sakit. Sakit
sekali jika harus terus mendengar hal sama yang terus diceritakan sahabatku
terhadapku. Kala itu hubungan antara aku dan dia memang sedang retak. Kami terpaksa
lost-contact karena ibuku menahan
handphoneku. Satu-satunya alat komunikasiku dengannya. Mungkin dia merasa
jenuh, mungkin dia merasa kesepian, makannya dia mencoba melawan rasa jenuhnya
dengan mendekati gadis lain.
Terlalu perih jika hal itu terus aku paksa rasakan. Rasanya
seperti ledakan dynamit yang ia taruh dihatiku. Perih, sakit, hancur. Tak kuasa
aku menahannya terus-menerus. Hingga pada akhirnya aku memutuskan untuk
berpisah dengannya. Sakit memang. Tapi akan lebih menyakitkan lagi jika aku
terus memaksakan kehendakku untuk melanjutkan hubunganku dengannya. Dengan kadar
rasa cinta dia yang semakin hari semakin berkurang padaku. Terpaksa aku harus
melepasnya dan merelakannya pada gadis lain.
Tapi ternyata keputusan yang telah kuambil salah. Rasa sesal itu
muncul, semakin terasa terlebih ketika aku tahu bahwa dia, sosok yang sangat
aku kagumi, ternyata telah mempunyai kekasih baru. Tak salah lagi. Gadis itu.
Gadis yang selalu ia boncengi setiap sore untuk mengantarkannya pulang kerumah.
Penyesalan memang selalu datang terlambat. Jika ia daftar lebih awal, mungkin
daftar ulang namanya.
Tuhan memang adil. Tuhan berikanku rasa sakit untuk
menyadarkanku dari kesalahanku. Kata putus yang kulontarkan dengan begitu
mudahnya, tanpa tangis, ternyata tak selamanya menjadi tawa bagiku. Selang
beberapa hari setelah resminya hubungan baru diantara mereka memang semua
berjalan normal, tapi aku merasa ada mozaik yang hilang dalam hidupku; kamu
yang kutinggalkan. Pesan singkatmu, tawa renyahmu, senyum manismu, kata-kata
cintamu, tak ada lagi hal-hal manis yang dulu kurasakan.
Memang, setelah berpisah denganmu, aku mendapat seseorang lagi
yang berusaha mengisi hari-hariku, tapi dia tak sepertimu, dia tak mampu
menggantikan kamu. Dia hanya berhasil mengubah statusku yang single menjadi in relationship, dia tak benar-benar
mengggantikan kamu yang (tanpa kusadari) telah menguasai hatiku. Aku semakin
mengerti bahwa tak ada seorangpun yang mampu menggantikan sosokmu.
Meskipun kini kita telah berbeda arah dan tujuan, dan kau telah
menemukan seseorang yang kau anggap “spesial” bagimu, tapi perasaanku tak
berubah sedikitpun. Aku justru sangat mencintaimu ketika kau telah bersamanya.
Saat melihat kau dengan dia, ada rasa sakit yang menikamku dalam-dalam, ada
kenangan yang diam-diam mendesakku kembali ke masa lalu, sambil berkata dalam
hati : “Dulu aku pernah memeluk tubuhmu, walau hanya dari belakang. Tapi
sekarang dia yang mampu melakukan itu, kekasih barumu.”
Hanya itu yang bisa kulakukan, MENYESAL! Cuma itu yang bisa
kulakukan, menangis diam-diam ketika kulihat barang-barang pemberianmu masih
kusimpan dengan rapi. Kita memang telah putus, tapi kenanganku tentangmu belum
benar-benar putus. Tak pernah terpikirkan kita akan berpisah, karena semua mengalir dengan begitu indah. Kali ini aku
benar-benar merasa takut. Aku takut kehilangan seseorang yang tak lagi
kumiliki, kamu.
Untuk seseorang yang mungkin tidak akan pernah “lagi” membaca
tulisanku.
Aku merindukan senyum hangatmu:')