Untukmu, Pria
Berbola Mata Coklat.
Untukmu,
pria yang kucintai sejak 5 SD.
Boleh basa-basi sedikit? Sudah berapa lama ya
kita tidak bertemu?Lima tahunkah? Bagaimana wujudmu saat ini? Masihkah pipimu
merah ketika cahaya matahari menciumi lembut pipimu? Masihkah bola matamu
terlihat kecoklatan ketika disentuh sang mentari? Masihkah kamu membawa botol
minum Spiderman yang selalu kau kalungkan dilehermu? Apakah semua telah
berbeda?
Untukmu,
si unik dengan seyum fantasti.
Aku bertanya-tanya, bagaimana sinar matamu saat
ini? Masihkah sejuk dan beningnya seperti dulu? Seperti kala kita berbagi bekal
bersama. Saat anak-anak lain sibuk dengan bekalnya masing-masing, aku dan kamu
malah sibuk berdua membagi lauk untuk dimakan bersama. Kau bercerita banyak
padaku. Sewaktu itu, kau masih bercita-cita ingin menjadi insyinyur, dan aku
ingin menjadi dokter. Mengingat kenangan memang indah, mampu membuat seseorang
tersenyum walaupun masa itu tak akan pernah kembali.
Untukmu,
yang sekarang berada jauh dari negeri tempat ku berpijak.
Dulu, saat pertama kali bertemu, aku sangat heran
padamu. Mengapa anak idiot sepertimu ditempatkan dikelas ku? Aku pikir, hal itu
tak akan berlangsung lama. Ternyata sampai duduk di bangku kelas 5 pun, kita
masih saja sekelas. Tapi, entah mengapa , ada titik dimana kita tak seperti
musuh, ada saat dimana kita tiba-tiba menjadi dekat, dan aku tak pernah tahu
mengapa rasa aneh itu berevolusi menjadi cinta dalam usia dini. Mengapa kau
ajarkan perasaan aneh itu padaku? Dulu… kita masih terlalu dini untuk mengerti
cinta, apalagi menafsirkannya.
Untukmu,
yang mungkin tidak akan membaca tulisan ini.
Sedang apa kamu disana? Apakah kau masih ingat
sosokku dan bentuk wajahku? Apakah kau masih ingat banyak hal yang terjadi saat
kita SD? Ah.. mungkin kau lupa, aku masih mengingat kenangan-kenangan itu
karena aku punya perasaan yang berbeda denganmu. Entahlah.. mungkin perasaanmu
tak sama dengan perasaanku.
Aku masih ingat kala itu, ketika kita bermain
permainan yang sering kita menyebutnya “rerebonan”,
disitulah kali pertama kau menggenggam lembut tangan kananku. Meski itu
hanyalah kebetulan dalam sebuah permainan, tapi itu sebuah sejarah yang sangat
berharga bagiku. Mungkin hal itu tak akan pernah kembali, tapi kenangannya akan
selalu tersimpan rapi dalam memori otakku.
Untukmu,
yang selalu hafal nama lengkapku.
Mengapa saat kau pulang ke Indonesia, kau tak
pernah mengabariku? Apakah kau tak tahu, hal itu sangat penting bagiku? Memang
aku selalu terlambat mengetahuinya. Selalu aku tahu disaat kau telah pergi
kembali ke negerimu. Apakah kau lupa dengan janjimu saat acara perpisahan kala
itu? Bukankah kau berjanji akan selalu mengabariku meski kau telah berada jauh
denganku? Bukankah kau berjanji akan selalu mengingatku meski kita tak lagi
bersama? Apakah janji itu sudah tak berarti lagi untukmu? Sebegitu tidak
pentingnya kah aku dimatamu?
Bahkan aku masih ingat kalimat terakhir yang kau
ucapkan padaku sebelum kau pergi. Apakah kalimat itu merupakan sebuah pertanda
bahwa kau akan melupakanku? Langkahmu dan langkahku terhenti, kita saling
menatap, jantungku bereaksi dengan detakan yang begitu kencang, kau
menggetarkan bibirmu, “Jaga diri kamu baik-baik ya, Vio. Jangan
mengkhawatirkanku, aku akan baik-baik saja disana.”
Tanpa pengungkapan. Lalu kita terpisah, di
persimpangan bandara, karena kita berbeda arah.
dari
seorang perempuan
yang tak pernah lupa janji-janjimu
yang masih saja sering merindukamu
yang tak pernah lupa janji-janjimu
yang masih saja sering merindukamu
0 komentar:
Posting Komentar