Pages

Senin, 25 Maret 2013

Untuk Seseorang di Masalalu


Untuk Seseorang di Masalalu


Langit cerah seakan menemaniku saat aku menulis ini. Tapi sepertinya ada suatu hal yang mengganjal dalam hatiku. Seharusnya aku senang bukan? Dia, sosok  yang selalu aku rindukan muncul menghiasi sepinya blog ini dari mata pengunjung. Tapi, entah apa yang harus aku rasakan saat ini. Sedih kah? Atau mungkin aku harus senang? Sial. Aku benar-benar tak tahu. Dia yang selalu aku rindu, dia yang selalu aku tunggu, dia yang tak pernah absen dari doa tiap malamku, dia yang selalu aku cinta, ternyata masih ingat padaku.

Sial. Aku jadi ingat beberapa tahun yang lalu; saat aku dan dia masih menjadi kita. Pertemuan yang tak pernah aku duga sebelumnya. Ukiran kenangan yang tak pernah aku sangka akan terjadi. Bahkan lagu itu. Lagu ketika kita pertama kali bertemu, akan selalu jadi lagu terindah dalam hidupku. “Inikah Cinta.” Ya. Lagu yang selalu membuatku merasa seperti seorang pemabuk, tak pernah sekalipun aku tak tersenyum ketika mendengar lagu itu diputar. Berlebihan bukan? Ya. itulah yang dinamakan cinta.

Semua terasa sangat indah kala itu. Tak pernah seharipun kita lewati hari tanpa senyuman. Bahkan hujan yang sebelum itu sangat aku benci karena dapat membuat istanaku dirusak olehnya, malah menjadi objek yang paling aku sukai. Lagi-lagi karena cinta. Hujan selalu hadir ditengah-tengah aku dan dia. Ia (baca:hujan) selalu hadir membuat segalanya menjadi lebih hidup, lebih berwarna, lebih indah dari taman bermain. Ya, aku memang sangat menyukai taman bermain. Tapi kala itu, hujan dapat mengalahkan segalanya. Aneh bukan? Tapi memang itulah kenyataannya. 

Akhirnya hujan pun menjatuhkan rambut mayangnya ke bumi dengan bongkahan rintik-rintik kecil yang menjamu mata telanjang yang menyaksikannya. Aku tersenyum lebar, aku akan segera menemukan dia, malaikat hujan. Ternyata dugaanku tepat. Rintik hujan semakin membesar. Akhirnya sang malaikat hujan berhasil mengerjakan tugasnya dengan baik. Ia (baca:hujan) berhasil membuat dia menginjakkan kakinya pertama kali di istana kecilku. Dengan pakaian yang basah kuyup, rambut lusuh, mata merah seperti biasanya, dan bibir keunguan karena beku menahan dinginnya air hujan, dia duduk di kursi yang telah ku sediakan. Secangkir teh hangat yang ibuku persiapkan seakan menjamu kedatangannya. Kami duduk dalam satu meja, tanpa ungkapan dan ucapan, karena bahkan hanya lewat tatapan ada “pembicaraan” bisu yang “terdengar” oleh hati. 45 menit berlalu. Semangkuk bubur kacang hijau pun seakan menjadi tumbal, untuk menahan kepergiannya. Namun seberapa banyaknya bubur kacang hijaupun ternyata tak dapat menahan kepergiannya. Dia tetap harus pergi meninggalkanku dan istana kecilku. Aku hanya bisa melihat tubuhnya dari belakang, yang semakin menjauh dari pandanganku.

Setelah kuputar ulang lagi rekaman otakku yang berisi tentangmu, aku mencoba kembali mengingat semua kenangan kita bersama hujan. Ternyata benar. Tak salah aku sangat menyukai hujan saat ini. Hujan memang telah berhasil mengukir kenangan indahku bersamanya dalam memori otakku yang hanya tinggal secuil lagi, karena terisi penuh dengan materi mata pelajaran yang akan kuhadapi dalam Ujian Nasional 20 hari mendatang.

Dan, untuk kamu, ya kamu! Pria yang saat ini masih menjadi 3 besar dalam hatiku. Jujur, aku merindukanmu. Merindukan sosok dewasa yang dulu pernah menopang dan menegakkan langkahku. Aku merindukan suaramu yang dulu menelusup lembut ke dalam telingaku. Aku merindukan sosok sederhanamu dengan tahi lalat yang menghiasi lengan kirimu. Sekarang, aku tahu bagaimana rasanya bila tidak ada kamu yang menghiasi hari-hariku. Sekarang, aku tahu rasanya jika saat pagi tak ada sapamu di inbox handphoneku. Aku benar-benar kehilangan sosokmu.

Ingin rasanya kembali ke masa lalu, ketika masih ada kamu, ketika aku masih bisa bebas menikmati senyummu, ketika aku masih bisa tersenyum saat bangun pagi hingga tidur malamku. Saat kamu masih menganggapku lebih dari teman, saat ungkapan rindumu masih sering kudengar dari bibir tipismu, saat kehadiranmu bagai actor utama drama yang kutunggu-tunggu kemunculannya. Aku masih saja selalu memerhatikan nomor handphonemu, menimbang-nimbang apakah aku harus mengirim pesan terlebih dahulu atau aku saja yang menunggumu? Ah. . . tapi kamu terlalu sibuk, bahkan hanya untuk sekadar sms apalagi menanyakan kabarku.

Kadang aku merasa menjadi wanita paling bodoh. Aku telah melakukan suatu kesalahan fatal yang membuatku tak pernah berhenti merasa menyesal. Kala itu aku memang sedang kesal. Amarah ku tak dapat ku bendung lagi, kesabaranku sudah tak dapat kutahan lagi. Aku menyaksikan dia memboncengi seorang gadis berjilbab. Memang wajar, gadis itu teman sekelasnya. Tapi apakah wajar bila hal itu terus ia lakukan berulang-ulang? Bahkan sahabatku tak jarang melihat hal itu, terutama rumah sahabatku tak jauh dari rumah gadis itu. Wajar jika sahabatku lebih banyak mengetahui hal itu ketimbang aku. Sakit. Sakit sekali jika harus terus mendengar hal sama yang terus diceritakan sahabatku terhadapku. Kala itu hubungan antara aku dan dia memang sedang retak. Kami terpaksa lost-contact karena ibuku menahan handphoneku. Satu-satunya alat komunikasiku dengannya. Mungkin dia merasa jenuh, mungkin dia merasa kesepian, makannya dia mencoba melawan rasa jenuhnya dengan mendekati  gadis lain.

Terlalu perih jika hal itu terus aku paksa rasakan. Rasanya seperti ledakan dynamit yang ia taruh dihatiku. Perih, sakit, hancur. Tak kuasa aku menahannya terus-menerus. Hingga pada akhirnya aku memutuskan untuk berpisah dengannya. Sakit memang. Tapi akan lebih menyakitkan lagi jika aku terus memaksakan kehendakku untuk melanjutkan hubunganku dengannya. Dengan kadar rasa cinta dia yang semakin hari semakin berkurang padaku. Terpaksa aku harus melepasnya dan merelakannya pada gadis lain. 

Tapi ternyata keputusan yang telah kuambil salah. Rasa sesal itu muncul, semakin terasa terlebih ketika aku tahu bahwa dia, sosok yang sangat aku kagumi, ternyata telah mempunyai kekasih baru. Tak salah lagi. Gadis itu. Gadis yang selalu ia boncengi setiap sore untuk mengantarkannya pulang kerumah. Penyesalan memang selalu datang terlambat. Jika ia daftar lebih awal, mungkin daftar ulang namanya.

Tuhan memang adil. Tuhan berikanku rasa sakit untuk menyadarkanku dari kesalahanku. Kata putus yang kulontarkan dengan begitu mudahnya, tanpa tangis, ternyata tak selamanya menjadi tawa bagiku. Selang beberapa hari setelah resminya hubungan baru diantara mereka memang semua berjalan normal, tapi aku merasa ada mozaik yang hilang dalam hidupku; kamu yang kutinggalkan. Pesan singkatmu, tawa renyahmu, senyum manismu, kata-kata cintamu, tak ada lagi hal-hal manis yang dulu kurasakan.

Memang, setelah berpisah denganmu, aku mendapat seseorang lagi yang berusaha mengisi hari-hariku, tapi dia tak sepertimu, dia tak mampu menggantikan kamu. Dia hanya berhasil mengubah statusku yang single menjadi in relationship, dia tak benar-benar mengggantikan kamu yang (tanpa kusadari) telah menguasai hatiku. Aku semakin mengerti bahwa tak ada seorangpun yang mampu menggantikan sosokmu.

Meskipun kini kita telah berbeda arah dan tujuan, dan kau telah menemukan seseorang yang kau anggap “spesial” bagimu, tapi perasaanku tak berubah sedikitpun. Aku justru sangat mencintaimu ketika kau telah bersamanya. Saat melihat kau dengan dia, ada rasa sakit yang menikamku dalam-dalam, ada kenangan yang diam-diam mendesakku kembali ke masa lalu, sambil berkata dalam hati : “Dulu aku pernah memeluk tubuhmu, walau hanya dari belakang. Tapi sekarang dia yang mampu melakukan itu, kekasih barumu.”

Hanya itu yang bisa kulakukan, MENYESAL! Cuma itu yang bisa kulakukan, menangis diam-diam ketika kulihat barang-barang pemberianmu masih kusimpan dengan rapi. Kita memang telah putus, tapi kenanganku tentangmu belum benar-benar putus. Tak pernah terpikirkan kita akan berpisah, karena semua  mengalir dengan begitu indah. Kali ini aku benar-benar merasa takut. Aku takut kehilangan seseorang yang tak lagi kumiliki, kamu.

Untuk seseorang yang mungkin tidak akan pernah “lagi” membaca tulisanku.
Aku merindukan senyum hangatmu:')

0 komentar:

Posting Komentar