Pages

Senin, 25 Maret 2013

Essay Bahasa Indonesia


Apakah Cinta dan Agama Tak Layak Disatukan?



Sesuatu yang dipersatukan Tuhan tak dapat dipisahkan manusia. Seringkali kita menyebutnya jodoh. Ketika berlari, selalu tertuju kearah yang sama. Ketika mencoba pergi, selalu kembali ke jalan yang sama. Semua berputar dan berotasi, konsep jodoh sendiri semakin tereksplorasi. Katanya, jodoh berarti memiliki banyak kesamaan. Katanya, jodoh berkaitan dengan hilangnya perbedaan. Dan katanya lagi, jodoh adalah soal memiliki seutuhnya. Jika itulah yang berarti jodoh, lantas bagaimana mereka yang jelas-jelas berbeda?
Jatuh cinta adalah dua kata yang sulit dijelaskan. Tidak terdefinisikan. Soal hati, kata-kata seakan tak ahli untuk memaparkan juga mendeskripsikan. Saya tidak akan berbicara tentang cinta, juga tentang mimpi omong kosong yang diciptakan saat hadirnya cinta. Ini semua soal kenyataan, soal dunia yang begitu klise. Agama.
Mungkin, inilah definisi menyakitkan yang sebenarnya. Saya sendiri tak mampu mendeskripsikan rasa sakit dalam rangkaian kata, karena perasaan itu benar-benar dirasakan oleh hati, sedangkan apa yang dirasakan hati begitu sulit disentuh oleh logika, kata dan kalimat. Dan kata menyakitkan itu berasal dari kesulitan untuk menyatukan dua orang yang beribadah di tempat yang berbeda.
Kamu tertawa? Jelas. Cinta, di mata beberapa orang hanyalah omong kosong yang jauh dari kata nyata. Beberapa orang beranggapan bahwa cinta bukanlah hal yang harus benar-benar diperjuangkan. Makanya, cinta bisa terpisah karena perbedaan. Suku, ras, status sosial, dan lebih menyakitkan lagi jika berpisah karena agama. Hanya karena ia melipat tangan dan kekasihnya menengadahkan tangan, berarti mereka dilarang untuk saling jatuh cinta? Mereka memang berbeda, salib dan tasbih, tapi bisakah dunia berhenti menyakiti mereka?
Tuhan, agama, dan norma. Begitu klise dalam kacamata saya. Segalanya begitu kompleks. Cinta telah membuat jiwa mereka seakan-akan berada di Surga Firdaus, tapi kenyataan hanya bisa membuat mereka seakan-akan terusir dari keindahan dan kemegahan Surga Firdaus. Lagi dan lagi, karena perbedaan. Apakah perbedaan yang Tuhan ciptakan hanya akan menjadi penghalang bagi mereka yang berbeda? Perbedaan macam apa yang bisa merenggut kebahagiaan seseorang? Apakah cinta dan agama tak layak disatukan?
Walaupun mereka memanggil Tuhan-Nya dengan sebutan yang berbeda. Ia menyebut nama Tuhan seperti biasa, sambil melipat tangan dan salib Yesus yang melingkar di lehernya seakan turut meremas segala kecemasan yang menggumpal dalam hatinya. Sedangkan yang lainnya sedang bersujud, mengajak Tuhan berbicara dengan bahasa yang berbeda. Segalanya berbeda, tapi cinta membuatnya menyatu. Segalanya tak mungkin disatukan, tapi cinta membuat dua orang berjuang bahkan untuk hal yang mustahil sekalipun. Dalam setiap sujud, dalam setiap lipatan tangan, dalam setiap sentuhan Al-Qur’an, dan dalam setiap sentuhan Alkitab – mereka saling mendoakan, meskipun tahu segalanya tak memungkinkan.
Tidak dapat dipungkiri memang, orangtua juga ingin memiliki keluarga baru yang memiliki banyak kesamaan dengan beliau-beliau. Manusia selalu takut dengan perbedaan, mereka selalu nyaman dengan hal yang terlihat sama di mata mereka. Padahal, berbeda belum tentu salah, dan punya kesamaan belum tentu benar. Seharusnya perbedaan ada bukan untuk disalahkan, dihakimi, lalu dianggap seakan-akan ada.
Segalanya terlewati dengan cara yang berbeda, apakah salah mereka? Hingga dunia menatap mereka layaknya penjahat kecil yang pasti bersalah dan tak berhak untuk membela diri. Apa salah mereka, jika mereka sama-sama mengenal Tuhan walaupun memanggil-Nya dengan panggilan yang berbeda? Bukankah perbedaan seharusnya jadi sarana untuk mengenal dan saling melengkapi? Apa gunanya cinta dan Bhineka Tunggal Ika jika semua hanya abadi dalam ucapan bibir semata?

0 komentar:

Posting Komentar