Apakah
Cinta dan Agama Tak Layak Disatukan?
Sesuatu yang dipersatukan Tuhan tak
dapat dipisahkan manusia. Seringkali kita menyebutnya jodoh. Ketika berlari,
selalu tertuju kearah yang sama. Ketika mencoba pergi, selalu kembali ke jalan
yang sama. Semua berputar dan berotasi, konsep jodoh sendiri semakin
tereksplorasi. Katanya, jodoh berarti memiliki banyak kesamaan. Katanya, jodoh
berkaitan dengan hilangnya perbedaan. Dan katanya lagi, jodoh adalah soal
memiliki seutuhnya. Jika itulah yang berarti jodoh, lantas bagaimana mereka
yang jelas-jelas berbeda?
Jatuh cinta adalah dua kata yang sulit
dijelaskan. Tidak terdefinisikan. Soal hati, kata-kata seakan tak ahli untuk
memaparkan juga mendeskripsikan. Saya tidak akan berbicara tentang cinta, juga
tentang mimpi omong kosong yang diciptakan saat hadirnya cinta. Ini semua soal
kenyataan, soal dunia yang begitu klise. Agama.
Mungkin, inilah definisi menyakitkan
yang sebenarnya. Saya sendiri tak mampu mendeskripsikan rasa sakit dalam
rangkaian kata, karena perasaan itu benar-benar dirasakan oleh hati, sedangkan
apa yang dirasakan hati begitu sulit disentuh oleh logika, kata dan kalimat.
Dan kata menyakitkan itu berasal dari kesulitan untuk menyatukan dua orang yang
beribadah di tempat yang berbeda.
Kamu
tertawa? Jelas. Cinta, di mata beberapa
orang hanyalah omong kosong yang jauh dari kata nyata. Beberapa orang
beranggapan bahwa cinta bukanlah hal yang harus benar-benar diperjuangkan.
Makanya, cinta bisa terpisah karena perbedaan. Suku, ras, status sosial, dan
lebih menyakitkan lagi jika berpisah karena agama. Hanya karena ia melipat
tangan dan kekasihnya menengadahkan tangan, berarti mereka dilarang untuk
saling jatuh cinta? Mereka memang berbeda, salib dan tasbih, tapi bisakah dunia
berhenti menyakiti mereka?
Tuhan,
agama, dan norma. Begitu klise dalam kacamata saya. Segalanya begitu kompleks.
Cinta telah membuat jiwa mereka seakan-akan berada di Surga Firdaus, tapi
kenyataan hanya bisa membuat mereka seakan-akan terusir dari keindahan dan
kemegahan Surga Firdaus. Lagi dan lagi, karena perbedaan. Apakah perbedaan yang
Tuhan ciptakan hanya akan menjadi penghalang bagi mereka yang berbeda?
Perbedaan macam apa yang bisa merenggut kebahagiaan seseorang? Apakah cinta dan
agama tak layak disatukan?
Walaupun
mereka memanggil Tuhan-Nya dengan sebutan yang berbeda. Ia menyebut nama Tuhan
seperti biasa, sambil melipat tangan dan salib Yesus yang melingkar di lehernya
seakan turut meremas segala kecemasan yang menggumpal dalam hatinya. Sedangkan
yang lainnya sedang bersujud, mengajak Tuhan berbicara dengan bahasa yang
berbeda. Segalanya berbeda, tapi cinta membuatnya menyatu. Segalanya tak
mungkin disatukan, tapi cinta membuat dua orang berjuang bahkan untuk hal yang
mustahil sekalipun. Dalam setiap sujud, dalam setiap lipatan tangan, dalam
setiap sentuhan Al-Qur’an, dan dalam setiap sentuhan Alkitab – mereka saling
mendoakan, meskipun tahu segalanya tak memungkinkan.
Tidak
dapat dipungkiri memang, orangtua juga ingin memiliki keluarga baru yang
memiliki banyak kesamaan dengan beliau-beliau. Manusia selalu takut dengan
perbedaan, mereka selalu nyaman dengan hal yang terlihat sama di mata mereka.
Padahal, berbeda belum tentu salah, dan punya kesamaan belum tentu benar.
Seharusnya perbedaan ada bukan untuk disalahkan, dihakimi, lalu dianggap
seakan-akan ada.
Segalanya
terlewati dengan cara yang berbeda, apakah salah mereka? Hingga dunia menatap
mereka layaknya penjahat kecil yang pasti bersalah dan tak berhak untuk membela
diri. Apa salah mereka, jika mereka sama-sama mengenal Tuhan walaupun
memanggil-Nya dengan panggilan yang berbeda? Bukankah perbedaan seharusnya jadi
sarana untuk mengenal dan saling melengkapi? Apa gunanya cinta dan Bhineka
Tunggal Ika jika semua hanya abadi dalam ucapan bibir semata?
0 komentar:
Posting Komentar